Rendi Pamungkas
JEMBER, www.jembertoday.net – Baru-baru muncul istilah mengemis online di media sosial. Kemunculan “joget sadbor” yang dipopulerkan oleh Gunawan ‘Sadbor’ di TikTok mencerminkan realitas sosial baru dalam masyarakat kita.
Fenomena ini, yang berawal dari sebuah kampung di Sukabumi, Jawa Barat, kini viral di berbagai daerah. Tak perlu keterampilan khusus atau modal besar, hanya gawai, internet, dan keberanian untuk tampil di depan layar yang diperlukan. Warga, yang mayoritas berasal dari kalangan ekonomi bawah, beraksi dengan gaya yang sederhana demi menarik saweran digital dari para penonton.
Di satu sisi, fenomena ini menunjukkan kreativitas masyarakat untuk bertahan hidup di tengah keterbatasan. Banyak dari mereka berhasil mengumpulkan saweran dalam jumlah besar, yang cukup untuk melunasi utang, merenovasi rumah, bahkan menutupi biaya medis. Namun, di sisi lain, aksi ini juga menimbulkan pro dan kontra, terutama dari perspektif etika dan moral.
Baca Juga : Dana CSR PTPN 1 Regional 5 Tersalurkan Tepat Sasaran
Fenomena mengemis online tidak muncul begitu saja. Ini adalah hasil dari digitalisasi yang masif di Indonesia, di mana 83 persen dari populasi di Indonesia telah terhubung dengan internet. TikTok, platform media sosial yang sangat digemari, menjadi “game changer” yang menawarkan peluang ekonomi dengan cara-cara baru. Namun, peluang ini datang dengan harga mahal: fenomena mengemis online yang dieksploitasi demi meraup keuntungan cepat.
Mengapa tren ini begitu menjamur?
Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, kondisi ekonomi yang sulit mendorong masyarakat mencari sumber penghasilan alternatif, bahkan yang tidak konvensional. Kedua, kurangnya literasi digital membuat banyak orang tidak menyadari dampak negatif dari konten eksploitatif. Ketiga, keinginan untuk meraih popularitas dan pengakuan sosial memotivasi sebagian orang untuk menciptakan konten yang kontroversial. Dan terakhir, prospek penghasilan besar dalam waktu singkat melalui saweran digital menjadi daya tarik tersendiri.
Baca Juga : Pola Pikir Konsumtif: Masyarakat Cenderung Pilih Kendaraan Pribadi, Berdampak Kemacetan
Namun, fenomena ini juga membawa dampak negatif yang serius. Mengemis online tidak hanya memperkuat stigma terhadap kelompok ekonomi rendah, tetapi juga merendahkan martabat manusia. Alih-alih menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan, tren ini justru memperkuat siklus kemiskinan dan memicu eksploitasi digital yang semakin luas. Tidak hanya itu, konten-konten semacam ini juga merusak ruang publik digital dan berisiko melibatkan kelompok rentan, seperti anak-anak, dalam bentuk eksploitasi dan kekerasan.
Lalu, bagaimana kita dapat merespons fenomena ini?
Ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, pemerintah perlu mengedukasi masyarakat tentang etika digital dan dampak buruk dari konten eksploitatif. Kedua, platform seperti TikTok harus lebih ketat dalam menegakkan pedoman komunitasnya untuk meminimalisir konten yang merugikan. Dan ketiga, kita sebagai masyarakat harus berperan aktif untuk tidak mendukung konten yang merugikan martabat manusia.
Fenomena joget sadbor dan tren mengemis online mungkin menghibur bagi sebagian orang, tetapi ini adalah cerminan dari kompleksitas masalah sosial yang kita hadapi saat ini. Jika dibiarkan tanpa regulasi dan edukasi yang memadai, fenomena ini berpotensi menjadi bom waktu yang merusak struktur sosial dan budaya kita di masa depan. (RenPam)