
JEMBER, www.jembertoday.net – Dalam diskusi publik dengan topik seribu gumuk warisan bumi, “Jejak Collapse Gunung Raung Purba dan potensi geowisata masa depan” tergambarkan kondisi Kabupaten Jember yang mengerikan, bencana. Tulisan ini bukan bermaksud menakut-nakuti tetapi menjadi intropeksi diri akan bahaya yang bisa muncul jika kita tidak peduli kepada seribu gumuk, yang hanya ada di Jember.
Narasumber tunggal, Firman Sauqi, NS, ST., MT, memaparkan sejarah terbentuknya bumi sejak 50.000 juta tahun lalu. Bahwa bumi bisa bergerak karena adanya magma di dalam inti bumi yang terus bersiklus.
Baca juga : Program Makan Bergizi Gratis Wujudkan Generasi Sehat dan Cerdas
Di era awal abad 20 para ahli sepakat bahwa teori Continental Drift (1915), benua yang saat ini terpisah dulunya merupakan satu daratan yang luas. Dibuktikan dengan temuan fosil hewan yang sama. Oleh karena daratan terus bersiklus, berubah, karena pergerakan magma di dalam inti bumi, dengan munculnya gunung-gunung berapi.
Menurut sejarah geologi, di wilayah Jawa Timur muncul gunung (pegunungan) tua dan gunung muda. Jejak pegunungan tua tersebar dari Timur yaitu Gunung Sadeng, lalu ke arah barat pegunungan karst dan marmer di wilayah Blitar, Tulungagung hingga Pacitan.
Proses itu terhenti. Pada 30.000 juta tahun lalu muncullah gunung Ijen, Argopuro, Bromo dan Semeru. Prosesnya memakan jutaan tahun dan meninggalkan jejak berupa beberapa kaldera. Gunung yang saat ini berdiri kokoh merupakan proses alam yang sangat lama.

Pada 23.000 tahun lalu muncul gunung baru atau muda, yaitu Gunung Raung Purba. Sekarang disebut Gunung Kadung. Pertumbuhan Gunung Raung Purba tidak lurus ke atas melainkan miring ke arah tenggara, yang disebabkan alas bumi yang labil.
Akibat letusan yang dahsyat reruntuhan Gunung Raung Purba gugur. Itu juga dibantu oleh lembah yang banyak air. Sehingga reruntuhan Gunung Raung Purba, yang sekarang disebut gumuk-gumuk, bisa “berjalan” hingga jauh, bahkan sampai wilayah Jenggawah, Balung dan Kencong.
Firman menerangkan struktur gumuk. Gumuk adalah bongkahan batu yang menempel pada dataran, bukan gunung aktif kecil. Dasar gumuk berupa batu-batu besar, yang ternyata mampu menjadi tempat menyimpan air.
Baca juga : Penutupan Jember Motocamp Fest 2024, Rangkaian Terakhir Multi Event Dispora
Gumuk juga bermanfaat untuk menahan derasnya angin (windbreak), sehingga suhu udara menjadi hangat. Pada musim hujan tidak terlalu dingin dan musim kemarau tidak terlalu panas. Dikatakan Firman, dari kecepatan 50 km/jam bisa tertahan hingga 15 km/jam. Angin dingin dari pantai tertahan oleh gumuk-gumuk sehingga dataran Jember secara umum bersuhu lebih hangat.
Sayangnya pandangan dari sisi geologi itu tidak lebih menarik dari pandangan praktis dan prakmatis. Saat ini eksploitasi gumuk susah dibendung. Tidak saja warga masyarakat tetapi pemerintah daerah ikut terlibat. Pemkab Jember memberi ijin pengerukan gunung Sadeng dengan alasan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.

Firman, pria kelahiran Desa Dukuhdempok Kecamatan Wuluhan itu lebih condong pada prinsip pembangunan yang berimbang. Diakuinya pertumbuhan penduduk yang pesat membutuhkan lahan untuk pembangunan, perumahan, pertanian dan lainnya. Tetapi hal itu harus juga mempertimbangkan aspek lingkungan, demi kelangsungan hidup jangka panjang.
Ditanya oleh peserta, apakah gumuk bisa dibuat? Firman menjawab gumuk hanya bisa dibuat oleh alam dalam waktu yang lama. Sehingga jika seribu gumuk punah maka tidak akan bisa diperbaharui lagi.
Seribu gumuk punah bisa menimbulkan bencana di Jember. Berpotensi angin puting beliung, bergesernya aliran sungai alam (Kali Bedadung, Kali Mayang dan Kali Tanggul), perubahan suhu yang ekstrim, hilangnya kantong-kantong air, dan hilangnya Geowisata yang eksotik.
Jeffry Wibisono, pemantik diskusi, manager Hotel Java Lotus Jember, bertanya, gumuk mana yang perlu diselamatkan terlebih dahulu?
Firman berpendapat bahwa gumuk-gumuk yang berada di tengah kota yang prioritas, sebab banyak pemukiman penduduk.
Lalu, siapa yang paling besar perannya dal menyelamatkan seribu gumuk? Menurut Firman, peran pemerintah daerah besar dalam hal penyelamatan gumuk, selain dari warga sendiri, sebab gumuk-gumuk itu berada di dalam penguasaan mereka.
Upaya perlindungan yang lebih besar, pemerintah daerah bisa mengusulkan ke pemerintah pusat atau bahkan ke PBB (UNESCO), dengan menjadikan seribu gumuk sebagai warisan dunia.

Sementara itu dalam sambutannya Deta Irama selaku Kepala Bidang Pariwisata, mewakili Kadisparbud Bambang Rudianto, mengapresiasi diskusi, baik narasumber dan peserta. Ia setuju bahwa gumuk-gumuk dapat lebih bernilai ekonomis dengan dijadikan geowisata ketimbang dieksploitasi/dikeruk/ditambang.
Perlu diketahui, diskusi itu terselenggara berkat kerja sama antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember dengan Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (APGI) dan Warna Indonesia Tour and Travel. (Sgt)