
JEMBER,www.jembertoday.net – Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. KH. M Noor Harisudin, S. Ag, SH, M. Fil.I mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang muncul akibat pemberian kewenangan berlebihan kepada Kejaksaan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Menurutnya, tanpa adanya perubahan signifikan, rancangan ini berisiko mengancam keseimbangan dalam sistem peradilan.“Jika RUU KUHAP disahkan tanpa perubahan substansial, kita akan kehilangan check and balance. Jaksa berisiko menjadi lembaga super body yang tak terkendali dan rawan penyimpangan,” tegas Prof. Haris, Kamis (20/2/2025).
Baca juga : Rektor UNEJ Lantik Insinyur Baru, sekaligus Dilantik sebagai Insinyur Profesional ASEAN
Dia juga memperingatkan bahwa ketimpangan kewenangan ini bisa memicu chaos di kalangan aparat penegak hukum (APH). “Jika kewenangan terpusat hanya pada satu lembaga, penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang sangat mungkin. Sudah banyak kasus penyimpangan di kalangan polisi, jaksa, hakim, hingga advokat,” tambahnya.
Menurutnya, ketimpangan kewenangan ini semakin diperparah oleh perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara seperti Belanda, yang menerapkan sistem hierarkis dengan jaksa sebagai pihak dominan. “Di Belanda, sistem ini mungkin berlaku karena jumlah penduduk mereka hanya 17 juta. Di Indonesia, dengan 280 juta penduduk, sistem ini akan berbahaya,” jelas Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember periode 2019-2023.
Prof. Haris juga menilai bahwa kewenangan besar bagi Kejaksaan berisiko memicu ketidakharmonisan antara Kepolisian dan Kejaksaan, yang selama ini berjalan dengan posisi setara. “Jika Kejaksaan diberi lebih banyak kewenangan, bisa timbul konflik dengan Kepolisian,” tambahnya.
Kritiknya terhadap RUU KUHAP tidak berhenti di situ. Menurutnya, sentralisasi pengendalian perkara yang diusulkan dalam rancangan ini justru bisa memperlambat proses hukum. “Jika kontrol terpusat di Jakarta, bagaimana dengan perkara di daerah? Proses hukum bisa terhambat, dan ini akan menambah ketidakpastian hukum,” kata Prof. Haris.
Dia juga menekankan perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam peradilan, dengan mengusulkan agar penyidik di Kepolisian mendapat pendidikan lebih tinggi agar bisa bekerja secara profesional. “Bukan hanya soal kewenangan, tapi juga kualitas SDM yang harus ditingkatkan,” tegasnya.

Selain itu juga, ia menekankan kepada Kejaksaan, jika RUU KUHAP ini diberlakukan apakah Sumber Daya Manusianya cukup secara kuantitas, mengingat perbandingan kasus yang macet di Kejaksaan menjadi tolok ukur kurangnya SDM yang ada, “Apakah mampu Kejaksaan dengan kebijakan efisiensi saat ini merekrut dengan cepat?, saya pikir ini tidak rasional jika berbicara jumlah jaksa yang ada di Indonesia saat ini,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Prof. Haris juga mengusulkan batas waktu yang jelas dalam penyelesaian perkara. “Misalnya, 14 hari untuk kasus ringan dan maksimal dua bulan untuk kasus yang lebih kompleks. Jangan sampai kasus berlarut-larut tanpa kejelasan,” ujarnya.
Dengan berbagai masalah ini, Prof. Haris menekankan pentingnya evaluasi lebih lanjut terhadap RUU KUHAP sebelum disahkan. “Revisi KUHAP harus memperbaiki sistem yang ada, bukan membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar,” pungkasnya.
Senada dengan Prof. Haris, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah, juga menyoroti potensi ketimpangan kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam RUU KUHAP. Menurut Prof. Arief, konsep “dominus litis” yang diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum tidak boleh diartikan sebagai dominasi lembaga tertentu. “Kewenangan penyidikan ada pada Kepolisian, sementara kewenangan penuntutan ada pada Kejaksaan. Jangan sampai RUU KUHAP membuat satu lembaga lebih tinggi dari yang lain,” katanya.
Ia juga menegaskan pentingnya transparansi dalam pembahasan RUU-KUHAP agar publik dapat mengkritisi aturan yang berpotensi menimbulkan ketimpangan. “Jika aturan ini tidak dibuka untuk dialog publik, bisa saja timbul ketidaksetaraan yang mengarah pada penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Selain itu, Prof. Arief mengingatkan perlunya harmonisasi antara KUHAP, Undang-Undang Kejaksaan, dan Undang-Undang Kepolisian. “Jangan sampai RKUHAP bertentangan dengan peraturan lain yang berlaku. Tanpa harmonisasi, kita bisa menciptakan dominasi satu lembaga terhadap yang lain dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan,” pungkasnya. (*/redaksi)