JEMBER, www.jembertoday.net – Setiap warga negara (baca: umat beragama) hendaknya ikut aktif dalam pemilu tahun depan. Sebab apa yang dipilih dalam bilik suara akan menentukan masa depan bangsa ini.
Suhu politik makin hari makin panas. Mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Partai Politik besar sudah menentukan pilihan calon presiden yang akan disodorkan ke masyarakat. Ada 3 calon bakal presiden, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Demikian bakal calon legislatif, masing-masing sudah memperkenalkan diri secara terbuka ke rakyat meski tahapan kampanye belum dimulai.
“Kita hendaknya punya kesadaran untuk berpartisipasi di dalam perhelatan demokrasi, entah itu pilpres atau pun pileg,” ucap DR Wildan Hafni, MM, Kamis, (2/6/2023).
Baca juga:
Itu dikatakan Wildan, yang juga Kepala LP2M Universitas Islam Negeri Kyai Ahmad Shidiq (UINKHAS) Jember saat Seminar Kebangsaan di Balepamitran GKJW Jember.
Tema sarasehannya, Persiapan Warga Negara dalam Menghadapi Pemilu 2024 yang diikuti oleh perwakilan 5 agama, kebanyakan generasi muda. Sarasehan itu diadakan oleh Pelayan Harian Majelis Jemaat (PHMJ) Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jember.
Hal kedua yang perlu dipersiapkan dalam kaitannya dengan psikologi massa, menurut Wildan, “Setiap umat perlu terus-menerus menggali untuk mendapatkan pengetahuan agar kemudian tidak mudah terjerumus di dalam politik identitas, yang terkonotasi pada pemanfaatan keagamaan untuk kepentingan elektoral.”
Hal ketiga yakni pentingnya peran tokoh-tokoh agama itu sendiri dalam memberikan kedewasaan berpolitik, seperti tidak membawa isu politik di dalam tempat ibadah.
Dalam paparannya, sebelum sesi dialog, Wildan mengupas pemaknaan ulang partisipasi politik dengan 3 konsep. Pertama, tahu, yaitu mengetahui aspirasi dan kepentingan konstituennya. Kedua, awasi, masyarakat harus mengawasi setelah calon pemimpin terpilih. Dan ketiga, mampu, yaitu mampu merumuskan dan menyampaikan daftar kepentingan kepada para calon pemimpin.
Saat ini tantangan yang dihadapi adalah pemahaman tunggal,/absolutisme keagamaan yang mengarah pada otoriterisme. Tantangan lain, religio political,/ destruksi eksitensial dan fanatisme dan egoisme.
Menurut Doktor lulusan Universitas Canberra itu, kegiatan pendewasaan psikologi massa (keagamaan) seperti sarasehan semacam ini perlu diintensifkan. “Supaya tidak mudah termakan berita bohong atau hoax,” tutur dia.
Ada problem keadaban publik. Microsoft pernah merilis, nitizen Indonesia paling tidak sopan di dunia.
Menjelang pesta demokrasi, pria kelahiran Tahun 1991 itu tidak memungkiri adanya persoalan intoleran. Dia tahu beberapa gereja ditutup karena alasan tidak punya izin. Ada pula rumah-rumah doa (Kristen) juga dilarang beraktifitas. Kebanyakan di daerah-daerah minoritas.
Wildan berharap peran pemerintah, baik daerah ataupun pusat mampu bertindak tegas. Juga kepada umat yang terzolimi mampu bersuara lantang atas tindakan diskriminatif itu. Bagi umat lain hendaknya juga ikut berempati dan tidak mengambil sikap acuh. Sebab jika dibiarkan akan menjadi preseden buruk dan ditiru oleh kelompok masyarakat di lain tempat.
(Redaksi)