Drs Agung Santoso |
OPINI
SIDOARJO, JT – “Mohon” maaf Presiden tentu saya salami jika berada di depan saya. Mohon maaf para menteri pembantu Presiden tentu saya salami jika di depan saya. Mohon maaf Gubernur, Bupati, Walikota dan jajaran fokompimda atau siapapun narasumber yang kami kenal tentu akan saya salami jika di depan saya.
Karena selama ini saya telah membuat pola pikir yang kadang menurut saya benar menurut narasumber salah, atau sebaliknya menurut narasumber benar, namun menurut saya salah, mungkin saya telah membuat kesimpulan sama-sama terlalu dini bahkan prematur.
Meski saya tidak kenal siapapun tapi saya merasa mungkin merugikan dengan tulisan, saya sudah memohon ampun pemilik alam raya se-isinya, Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi kata maaf terucap dari lubuk hati yang dalam akan terasa sempurna diiringi dengan ucapan dimaafkan.
Seperti dalam sebuah acara apapun bentuknya, di awal atau akhir sambutan pihak tuan rumah dan penyelenggara selalu berucap “Jika ada kesalahan atau pelayanan yang kurang mohon di maafkan”.
Mohon ampun memang sangat beda dengan mohon maaf, mohon ampun cukup kita tujukan kepada Allah SWT, karena telah melanggar larangannya dan tidak menjalankan perintahnya, namun mohon maaf dan dimaafkan tertuju kepada lebih dari seseorang, bahkan bisa dalam satu komunitas atau kelompok bila kita salah bertutur kata atau bertindak.
Pengucapan kata maaf sekarang menjadi melebar, tidak saja bila kita berbuat salah, tapi dipakai pengantar bila kita akan memulai bercerita sesuatu atau nelihat kejadian yang tidak pantas didengar dan dilihat.
Di mata Allah SWT, apapun status dirinya tetap yang ingin mohon ampun di anggap telah menjalankan perintahnya, namun tidak mengulangi kembali, tapi apakah sama permintaan maaf tidak akan terulang kembali dengan kesalahan yang berbeda. Semua anda yang menilai serta menyimpulkan. Selamat hari raya idul Fitri 1442 H.
oleh Drs. Agung Santoso
Inisiator UKW Mandiri di Indonesia dan Ketua FKPRM (Forum Komunikasi Pemimpin Redaksi Media) di Jatim